Membaca artikel dari Koran Pikiran Rakyat Bandung, terbetik keinginan untuk memasukkannya di Blog. Semoga pemimpin dan kita bisa mengambil hikmahnya. Selamat membaca.....
            
Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan (tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya). "Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.
             
Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?
        
Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar?
                         
Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana?
Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.
Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?
           
Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan waktu lama?
                
Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap kasus korupsi?
                   
Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan anggaran yang minim. Menurut Anda?                
Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik. Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain. Siapa yang suruh? Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik. Kita tidak perlu sok pahlawan. Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus agar tidak ada lagi sistem setoran. Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya Rp 5-6 juta. Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya. Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.   
Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di lingkungan kepolisian?   
Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Titik.      
 
RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc.,  mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai tingkat polres hingga  polda. Para perwira Satlantas itu datang ke Mapolda Jabar sejak pagi karena  diperintahkan demikian. Pertemuan itu baru dimulai pukul 16.00 WIB.
 Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit. Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan  "menyentak". Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang  kesiapan mereka menjalani perintah tersebut.
 Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan (tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya). "Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.
Pada akhir acara, seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari pangkat  AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat  yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya. Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah, menyiapkan,  dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan masih ada yang nakal,  saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami dari Ny. Herawati itu.
 Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli di  lingkungan kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke pimpinan  teratas. Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno tidak lepas dari  perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat  Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang  bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan
  Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji besi.
 Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri  dengan pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar menguak  korupsi.
 Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?
Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja sebagai  seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan. Terbayang 'kan betapa  sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan yang pas-pasan. Oleh karena itu,  saat lulus SMA saya memilih ke Akpol karena gratis. Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa di  antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat. Sepertinya, enak  sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat. Sejak itulah, terpatri di  benak saya, ada yang tidak benar di negara ini dengan kemakmuran yang dimiliki  oleh para pejabat. Maka, saya sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi  saat mengabdi di PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena  bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan uang  rakyat. Ada kepuasan batin.
 Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar?
Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau pungli,  terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah korupsi. Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak zaman  Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum yang korup. Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau  kitanya sendiri korupsi. Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam, baru  membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati, direktur, dan  lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi. Kalau aparatnya korupsi,  tamatlah republik ini. Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan tertingginya,  yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu pejabat-pejabat di Polda.  Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya. Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di Polda  Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi yang bertugas di  jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang ketik, atau petugas kecamatan  yang melayani pembuatan akte kelahiran. Akan tetapi, dimulai dari pimpinan  tertinggi di kantor itu. Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam,  seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari pengusaha-pengusaha,  mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil anggaran anggota saya. Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit dari dirlantas, direskrim, atau  kapolwil. Tidak juga mengambil anggaran mereka, atau uang bensin mereka. 
 Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana?
Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.
Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?
Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita  menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut nama kita  jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak akan jatuh merek  dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi berbintang yang korupsi.  Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran. Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang saya  harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya pecat gara-gara  korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan. Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi. Polisi itu  bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa lebih tidak terhormat  kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak korupsi.
 Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan waktu lama?
Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih  mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian  jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti  orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya.
 Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal,  uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya  lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling  melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit  dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus diakui,  itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah jabatan. Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda. Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang. Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau saya,  jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa sih duit  banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya saja sekarang sudah  besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah kerja semua. Bahkan,  gajinya lebih besar dari saya.
 Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap kasus korupsi?
Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah bersih  di dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan menjadi salah satu  target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus korupsi biar Jabar  bergetar.Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut kasus-kasus  korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK pasti mau membantu  asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya. Kita juga bisa diberi  kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap "bermain" bagaimana bisa dipercaya.  Kalau orang sudah percaya sama kita, maka banyak kasus yang masuk. Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi  digenjot. Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib administrasi,  salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara berbasis IT yang  terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa? Agar kita tahu setiap ada  perkara yang masuk. Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah  perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu isi  perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada klasifikasi  perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres, dan polsek. Untuk  polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor boleh di mana saja. Kita juga harus mempertanggungjawabkan hal itu ke pelapor dengan  mengirim surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik ini, ini,  dan ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan menjadi standar  penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua ini karena sistemnya ada  sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak suka yang pabaliut-pabaliut.Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang tidak  tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar tidak? 
 Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan anggaran yang minim. Menurut Anda?
Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik. Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain. Siapa yang suruh? Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik. Kita tidak perlu sok pahlawan. Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus agar tidak ada lagi sistem setoran. Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya Rp 5-6 juta. Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya. Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.
Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di lingkungan kepolisian?
Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Titik.
Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan  dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat  dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng,  tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai  dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing  (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi. Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya korup  dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya dengan pelacur.  ***
sumber : Pikiran Rakyat, Edisi 10 Februari 2008  
sumber : Pikiran Rakyat, Edisi 10 Februari 2008




1 komentar:
mudah-mudahan niat baik pak kapolda..senantiasa mendapat rahmat dan lindungan serta ridho allah swt..amin ya robbal alamin..
Posting Komentar